Jumat, 07 Februari 2014

Falling in Love at A Coffee Shop


Falling in Love at A Coffee Shop

-  Ghivorhythm’s special comeback  -

Cast: Lay (Exo-M) and You || Genre: Fluff, Romance, Life || Length: 3000+ || Rating: G

= Summary =

Mendefinisikan Zhang Yixing sebagai pangeran tidaklah salah. Dan ketika Zhang Yixing mencoba hal-hal sederhana untuk mengungkapkan isi hatinya, pun tak salah.

.


.


.

Happy Reading

J


.


.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-

Yixing. Ah, atau mungkin kalian lebih mengenal Lay? Hm, mereka orang yang sama, kok. Lay merupakan nickname dari pria bernama lengkap Zhang Yixing itu. Oh, kalian pasti sudah tahu. Tentu saja. Lagipula siapa, sih, yang tidak mengenal Lay? Si Pangeran tampan dari keluarga kaya raya.

Mendefinisikan Lay sebagai pangeran, tidaklah salah. Mengingat kehidupannya yang bergelimang harta serta masa depan yang cerah. Wajah yang rupawan dan postur tubuh tinggi, membuat banyak gadis bertekuk lutut mengharap cintanya.

Tapi perlu diketahui, Lay bukanlah tipe pria yang ingin hidup dengan lancar. Terdengar aneh dan ganjil. Bahkan sangat. Siapa, sih, yang tidak menginginkan hidup lancar, tentram, serta bergelimang harta seperti Lay? Masa depannya sangat terjamin—mengingat betapa banyak perusahaan yang berdiri di bawah naungan keluarga Lay, wajahnya yang tampan, hingga otak yang cerdas. Lalu dimana letak kekurangannya?


Lay tidak suka sesuatu yang sederhana.


Sederhana, Lay tidak suka itu. Ia selalu menginginkan sesuatu yang lebih dari sederhana. Karena baginya, sesuatu yang lebih sulit dan rumit akan menghasilkan sesuatu yang lebih berarti. Yap, itu benar.

Menjadi pengganti ayahnya, melanjutkan perusahaan keluarga. Itu adalah masa depan Lay yang tak dapat diubah. Namun, hatinya menginginkan sesuatu yang berada di luar prediksi kedua orang tuanya. Ia ingin mencoba sesuatu di luar pekerjaan sebagai presiden direktur.

Lay ingin bekerja paruh waktu sama seperti teman-temannya. Membiayai kuliahnya dengan hasil keringat sendiri. Pulang malam, dan tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil tapi nyaman yang tak jauh dari kampus. Semua itu membuat kedua orang tua Lay kebingungan. Bagaimana tidak? Lay adalah penerus mereka. Bahkan satu-satunya penerus!

Tak ada yang bisa orang tua Lay lakukan. Anak semata wayang mereka begitu keras kepala, hingga segala keinginannya harus dituruti. Hm, mungkin ini efek samping dari sikap mereka yang selalu memanjakan Lay.  Tapi perlu diingat, bahwa Lay bukanlah anak manja. Ia hanyalah anak keras kepala yang ingin mencoba hidup mandiri.

Dan disinilah pangeran itu berada. Sebuah kedai kopi lengkap dengan pekerjaan sebagai barista. Tapi, kedai kopi ini bukan milik orang tua Lay atau salah satu mitra kerja perusahaan mereka. Pekerjaan ini murni Lay dapat dari lamaran kerjanya, tanpa campur tangan kedua orang tuanya atau kepala pelayan yang ditugaskan untuk mengawasi Lay.

“Istirahatlah dulu!”

Suara berat yang khas milik manajer kedai kopi itu menyapa gendang telinga Lay. Respon, Lay pun mengangkat wajahnya dari secangkir espresso yang sedang ia hias—tampaknya Lay sedang mengasah kemampuan latte art-nya.

“Apa kau tidak lelah? Pangeran sepertimu harusnya hidup dengan senang.”

Lay hanya memamerkan senyuman tipis saat mendengar ucapan bosnya yang terkesan mengejek. Walau tidak salah, namun kata ‘pangeran’ yang ditangkap telinganya seringkali membuat Lay merasa bahwa dirinya ini berbeda. Atau mungkin, kata ‘pangeran’ itulah yang membuat sang manajer kesulitan untuk menentukan sikap saat menghadapi Lay?

“Pangeran lelah hidup dalam kastil. Ia butuh udara segar dan mencicipi pahit-manisnya kehidupan.” sahut Lay sembari melanjutkan kegiatan latte art-nya.

“Kau mau dengar nasihatku?” tanya sang manajer yang kini sudah mengisi kursi kosong yang ada di hadapan Lay.

Lay hanya melirik sekilas, tidak begitu tertarik dengan ucapan bosnya yang sejujurnya hanya lima tahun lebih tua dibandingkan Lay. Diam, sang manajer anggap sebagai jawaban iya. Tiga bulan Lay bekerja di kedai kopi, membuat sang manajer cukup hafal dengan watak bawahannya itu.

“Kau terlalu angkuh.”


Angkuh?


Kalimat itu mampu membuat Lay mengangkat wajahnya sekaligus alisnya. Raut wajahnya yang selalu tenang kini menampakan kebingungan yang jelas, hingga membuat sang manajer tertawa renyah melihat responnya.

“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya sang manajer.

Lay tak menjawab, hanya diam dengan pandangan yang terjatuh pada latte-nya. Ia berusaha mencerna baik-baik ucapan sang manajer. Otaknya terus bekerja, berusaha mengingat segala perbuatan yang pernah ia lakukan, siapa tahu ada kesalahan yang pernah ia buat tanpa sengaja hingga sang manajer salah paham.

Mungkin Lay sedikit tersinggung mendengar ucapan sang manajer, tapi ada hal lain yang membuat rasa itu menjadi minoritas yang tak ia pedulikan lagi. Ia lebih penasaran pada hal yang membuat sang manajer bisa berkata seperti itu padanya. Angkuh? batin Lay.

“Betapa banyak orang yang menginkan kehidupan sepertimu, Lay. Mereka ingin hidup yang terjamin. Tapi kau? Orang yang jelas-jelas bisa mendapatkan segalanya, malah ingin hidup susah-susah untuk mendapatkan sesuatu yang bahkan bisa kau minta hanya dengan menjentikkan jarimu.”

“Aku hanya ingin hidup mandiri. Dimana letak kesalahannya?”

Ya, itu benar. Lay hanya ingin belajar hidup mandiri. Tapi, sudut pandang Lay dan sang manajer berbeda. Persepsi mereka berbeda.

“Justru itu. Entah kau sadar atau tidak, kau yang naïf atau aku yang berlebihan, tapi secara tidak langsung kau menganggap remeh orang lain. Dengan kemampuanmu yang seperti itu serta dukungan moral dan finansial dari keluargamu, kau bisa menjadi seseorang yang lebih berguna lagi. Tapi kau malah memilih pekerjaan ini. Kau ingin pamer kalau kau bisa mendapatkan segalanya? Atau kau ingin semua orang tahu kalau kau bisa melakukan semuanya? Itu namanya tidak mensyukuri nikmat Tuhan!”


Bum!


Hati Lay rasanya sudah jatuh ke dasar perutnya. Mungkin ia terlambat menyadari hal seperti ini. Ia tak memikirkan anggapan orang lain yang memiliki sudut pandang yang berbeda dengannya. Tapi sungguh! Lay tak pernah sedikit pun berniat untuk menganggap remeh orang lain dan bersikap angkuh seperti yang bosnya katakan.

“Aku..” Tiba-tiba Lay kehabisan kata-kata. Ini tidak seperti dirinya. Ia ingin membela diri, tapi sesuatu menahan bibirnya. Sebuah pukulan baru saja mengenai hati dan membuyarkan otaknya, hingga lidahnya terasa kaku dan sulit berucap lagi.

“Aku harap kau tak sengaja, Lay.” sela sang manajer, “aku berkata seperti itu agar kau bisa menginterospeksi dirimu menjadi seseorang yang lebih baik lagi.”

Akhirnya Lay mengerti. Kalimat yang selalu bosnya ucapkan. Bahwa ia bukan hanya seorang manajer yang menjadi bosnya. Tapi, ia juga seorang panutan yang harus selalu menggiring bawahannya menuju suatu perubahan yang lebih baik. Mengajari bawahannya untuk membuka lebar mata dan hatinya.

“Ada pelanggan. Kalau tidak mau istirahat, layani dia!” kata sang manajer sambil lalu.

Sesaat, bola mata Lay mengekori punggung sang manajer yang semakin lama menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangannya. Dengan senyuman kecil, Lay pun segera mengambil buku menu dan bergegas menghampiri pelanggan yang baru saja datang dan duduk di meja yang ada di sudut kedai.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


Buyarnya konsentrasi, pikiran yang terus melayang, suka mencuri pandang, detak jantung tak terkendali saat berada di dekatnya, hingga pipi yang merona saat mendengar nama—tunggu, Lay tidak tahu siapa nama gadis itu.

Gejala demi gejala Lay rasakan. Ia menyadarinya, tapi ia tak pernah berusaha untuk menghalanginya. Ia hanya membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Nalarnya bekerja, ia telah menyadari jika sebuah virus bernama cinta telah menjangkit dirinya. Bukan hanya tubuh, tapi juga pikirannya.


Cinta itu gila.


Sepertinya ungkapan itu benar adanya. Karena Lay sendiri telah membuktikannya. Ia yang biasanya selalu berkonsentrasi saat ada di kelas, kini lebih banyak melamun dan memikirkan gadis itu.

 Saat bekerja pun, Lay selalu mencuri pandang ke arah pintu kaca tembus pandang yang menjadi satu-satunya akses masuk bagi malaikat tanpa sayap yang telah membawa pergi hatinya.

Lay sangat berharap jika penglihatannya bisa menangkap sosok gadis itu. Memasuki kedai, lalu duduk di tempat favoritnya—meja yang ada di sudut kedai. Kemudian, Lay bisa membawakan buku menu dan menawarkan berbagai menu unggulan—karena hanya itu satu-satunya cara agar Lay bisa mengobrol dengan sang pujaan hati, walau pada akhirnya gadis itu akan—bahkan selalu—menjatuhkan pilihan pada secangkir macchiato.

Gila. Hanya membayangkannya saja sudah membuat pipi Lay memerah bagai tomat. Dan, senyuman itu. Senyuman manis dengan lesung pipi yang bisa membuat gadis manapun terjatuh untuknya. Lay benar-benar tampak seperti orang yang baru saja tahu bagaimana caranya tersenyum. Idiot. Tapi, itulah cinta. Lay selalu menanggapinya seperti itu.

Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa Lay tidak mengajak gadis itu berkenalan (kalau kalian tak ingin tahu, anggap saja kalian penasaran)? Hm, ini karena Lay menginkan sesuatu yang berharga untuk dikenang. Ia tak ingin momen perkenalannya dengan gadis itu terlalu sederhana hingga mudah untuk dilupakan. Ia ingin mempersiapkan segalanya dengan matang. Tiap detik, tiap detail, ia ingin gadis itu mengingatnya—selalu.


Agak rumit. Tapi itulah Lay.


Lay yang jatuh cinta pada pandangan pertama.


Lay yang menyukai gadis yang akhir-akhir ini sering berkunjung ke kedai tempatnya bekerja.


Lay yang—


“Aww!” pekik Lay. Tangan dosennya baru saja mendarat mulus di kepala Lay—pasti untuk mengembalikan jiwa Lay telah melayang entah kemana.

“Tuan Zhang, sekali lagi kau tertangkap sedang melamun di kelasku, bersiaplah mendapat nilai E!”


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


Andai Lay adalah pemilik perusahaan pencetak kalender. Pasti ia sudah menghapus semua hari, kecuali hari Selasa. Ia akan menyuruh para karyawannya untuk hanya mencetak hari Selasa pada kalendernya.

Andai Lay memiliki kalung pemutar waktu seperti Hermione atau mesin waktu seperti Doraemon, pasti ia akan terus memutar momen yang terjadi di pukul 4 sore lewat 30 menit hingga pukul 5 sore pada hari Selasa di kedai kopi tempatnya bekerja.

Tapi sayangnya, itu hanya pengandaian. Hanya khayalan belaka. Impian yang terlalu sulit dan bahkan mustahil untuk terwujud. Maka Lay hanya bisa menunggu hingga pukul 4 sore lebih 30 menit di hari Selasa datang kembali.

“Kau kenapa, sih?” tanya Xiumin—sahabat Lay, sedikit penasaran akan tingkah Lay yang ‘tidak seperti biasanya’, “tidak panas.”

Lay memutar bola matanya, seraya menyedot orange juice yang ia pesan.

“Apa kepalamu bocor? Sepertinya pukulan dari dosen tadi membuatmu sedikit..ugh, konslet?”

What?! Lay hampir tersedak mendengar pertanyaan yang Xiumin lontarkan. Ia kemudian menatap Xiumin lekat-lekat seolah mengatakan, ‘apa kau gila?’.

“Hei.. Santai saja, aku hanya bertanya.”

Lay menarik tatapannya, kemudian kembali terfokus pada segelas orange juice yang sudah setengahnya ia habiskan.

“Siapa dia?” Lagi-lagi Xiumin bertanya. Entah Lay sedang dalam ‘hari merah’-nya (oh, ayolah.. Lay tak punya ‘hari merah’) atau memang ia sedang sangat sensitif, hingga ocehan Xiumin terdengar seperti ejekan yang sangat mengundang kemarahannya.

“Kau bicara apa, sih?” Lay malah bertanya balik.

“Gadis, hari Selasa, pukul 4 sore lebih 30 menit, meja yang ada di sudut—”

Ucapan Xiumin terpotong oleh lirikan mengintimidasi dari Lay. Merasa terpojok, Xiumin pun hanya berdeham kecil untuk mengakhiri celotehannya.

“Darimana kau tahu?” tanya Lay, kini ia tampak lebih tenang.

“Sumber yang terpercaya.”

Yixing mengerling nakal, “Aku curiga.”

“Curiga ap—? Hei, ayolah.”

“Kau mencurigakan.”

Xiumin hanya mengerucutkan bibirnya, tak dapat berargumen apa-apa lagi. Lay hanya tersenyum kecil, mendapati kemenangannya berdebat dengan Xiumin.

“Hei, Mr. Perfect! Berhentilah merepotkan dirimu dengan hal-hal rumit.” ujar Xiumin, memecah keheningan yang sempat menelusup untuk beberapa saat. Kini kedua tangannya bermain dengan garpu dan spageti yang ada di hadapannya.

Lay hanya melirik sekilas, lalu kembali diam seolah menunggu lanjutan perkataan sahabatnya.

“Kalau terlalu lama, nanti keburu diambil orang..” lanjut Xiumin seraya menyuapkan spageti ke mulutnya.

“Berarti bukan—”

“Hei, hei, kalau tak ada usaha, bagaimana mungkin kau bisa mendapatkan gadis itu? Dia akan datang sendiri begitu? Tidak mungkin Mr. Zhang!”

“..lalu apa? Aku harus apa? Aku sedang menunggu waktu yang pas, kok.”

“Kan sudah kubilang! Jangan merepotkan dirimu dengan hal-hal yang rumit. Cobalah hal yang sederhana!”

Sederhana? batin Lay.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


Sudah ditentukan. Hari Selasa minggu ini, pukul 4 lewat 30 menit, Lay akan mengajak gadis itu berkenalan. Wow, setelah sekian lama akhirnya Mr. Zhang memutuskan untuk berkenalan dengan pencuri hatinya juga. Tapi, tidak semudah itu.

Kala itu, Lay sudah bersiap. Mulai dari macchiato kesukaan gadis itu, hal-hal yang mungkin mereka bicarakan, hingga bouquet mawar berwarna pink soft yang amat cantik. Ia bahkan telah menyeting kedai sedemikian rupa hingga terlihat natural tapi terencana. Hm, Mr. Zhang Yixing memang pandai menyiapkan segalanya.

Tampaknya jantung Lay memompa darah terlalu cepat, hingga rasanya mau meledak. Ya, Lay sangat gugup saat itu. Detik demi detik terasa begitu lama bagi Lay, hingga akhirnya jarum pendek sudah menunjukkan pukul 6 sore. Yang ditunggu tak kunjung menampakkan diri.


Gadis itu tak datang ke kedai kopi.


Waktu kerja paruh waktu Lay telah berakhir, sama berakhirnya dengan harapannya untuk berkenalan dengan gadis itu. Ini buruk. Sangat buruk. Bagaimana mungkin sesuatu yang telah dipersiapkan dengan matang, bisa gagal seperti ini?

Dengan berat hati, Lay meninggalkan kedai itu sambil terus bertanya-tanya sepanjang perjalanan pulang.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


Sudah dua minggu Lay tak bertemu pencuri hatinya. Penglihatannya merindukan sosok gadis itu, terlebih gendang telinganya yang sangat merindukan suara lembut milik gadis itu. Hah~ Lay benar-benar merindukan seseorang yang bahkan belum ia kenal sepenuhnya.

Apa mungkin, terjadi sesuatu pada gadis itu? Hm, semoga saja tidak. Kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu, maka Lay bisa menjadi manusia yang lebih gila lagi.

Sering melamun dengan senyuman yang sesekali mengembang, hal itu sudah tak asing lagi. Tapi kini, Lay sering melamun dengan wajah suram dan helaan napas berat yang sesekali keluar dari bibirnya. Itu tidak seperti Lay.

Lay seperti kehilangan mentari yang akan memberinya kekuatan untuk hidup. Ya, gadis itu bagaikan mentari bagi Lay. Dengan hati yang kalut, Lay memutuskan untuk menyegarkan pikirannya dengan pergi bersepeda—sekedar informasi, itu saran dari Kris dan Tao.

Waktu terus berjalan, seiring Lay yang terus mengayuh sepedanya menuju Sungai Han. Tampaknya ia memutuskan untuk melihat sunset dari tempat yang—katanya—sangat romantis itu.

Kursi taman yang kosong menjadi pilihan Lay untuk mengistirahatkan kedua kakinya yang kelelahan. Sambil menghilangkah rasa dahaganya dengan meneguk air mineral yang dibawanya, Lay mengedarkan pandangannya. Sungai Han di sore hari memang sangat cantik. Dan akan lebih cantik lagi kalau gadis itu ada disini dan mendengarkan ungkapan perasaan Lay.


Hah~ Untuk yang kesekian kalinya Lay menghela napas.


Dan sepersekian detik kemudian, Lay sudah bangkit dan bersiap untuk kembali ke apartemennya tanpa terlebih dahulu menyaksikan sunset. Tapi..sesuatu menghentikan langkahnya. Penglihatan Lay mendapati sosok gadis yang selama ini ia rindukan sedang berusaha meraih beberapa balon yang tersangkut di pohon—oh, siapa yang peduli dengan hal itu? Yang penting gadis itu baik-baik saja, kan, Lay?

Sudut-sudut bibir Lay mulai tertarik, membiarkan lesung pipi yang selama ini bersembunyi menampakkan diri.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


“Ah, sedikit lagi..” Gadis itu terus melompat-lompat, berusaha meraih beberapa balon warna-warni yang tersangkut di pohon. Tangannya terus berusaha menggapai tali balon-balon itu, namun apa daya, ia tak cukup tinggi untuk meraihnya.

“Huuueeeeeee..” Suara tangis anak laki-laki yang tak lain adalah pemilik balon-balon yang tersangkut itu terus terdengar, membuat sang gadis semakin tak tega.

“Adik kecil, jangan menangis lagi, ya? Noona akan mengambilkan balonmu.” bujuk gadis itu sambil berjongkok di hadapan lawan bicaranya. Ia sedikit khawatir karena anak laki-laki itu terus menangis sambil sesunggukkan.

“Ini. Anak laki-laki tidak boleh menangis.”

Kedua manik gadis itu membulat. Bagaimana mungkin balon-balon yang beberapa detik lalu berusaha diraihnya kini sudah berada di tangan anak laki-laki itu?

Anak laki-laki yang sudah mendapatkan kembali balon-balonnya itu segera menghapus air matanya dengan punggung tangannya, lalu berlari dan mehilang entah kemana. Sang gadis pun bangkit, dan mendapati sesosok pria baik hati yang mau mengambilkan balon-balon yang tersangkut itu.

“Masih ingat aku?” tanya Lay, ragu-ragu—walau jelas sekali kalau ia sangat gugup sekaligus senang.

Lawan bicaranya tak langsung menjawab, malah menggerak-gerakkan bola matanya seolah berusaha mengingat-ingat sesuatu. “Kau..barista kedai kopi yang ada di ujung jalan itu, kan?”

Wow, dia mengingatmu Lay—walau ia menjawab dengan sedikit ragu. Oh, walau ia tak tahu namamu—sepertinya, tapi kau patut bersyukur atas keajaiban ini. Setidaknya, dia masih mengingat wajahmu! Lay memamerkan senyum mematikannya, membuat gadis itu bisa melihat lesung pipi yang menjadi ciri khasnya.

“Wah, aku tak menyangka kalau kau masih mengingatku..” kata Lay, malu-malu. Tanpa sadar ia menggaruk belakang kepalanya yang bahkan tak terasa gatal.

“Tentu saja. Tiap kali aku datang ke kedai kopi itu, kaulah yang selalu melayaniku, kan?”

Oh, man! Itu cukup memalukan, Lay. Tapi kau tak perlu malu hanya karena hal itu. Yang penting, sekarang kau bisa bicara dengan gadis itu, kan? Pertemuan tak terduga, walau tak ada persiapan sebelumnya. Yang ada hanya hal-hal sederhana.

“Ah.. Oh, iya. Aku—”

“Yixing?”

Bahkan dia tahu namamu, Lay! Oh, maksudku dia tahu nama aslimu, Lay! Tampaknya Dewi Fortuna berada di pihakmu hari ini. Kau sangat beruntung! Tapi kumohon, jangan tersenyum selebar itu! Kau bisa menakutinya!

“Bagaimana kau tahu namaku?” tanya Lay, sedikit heran dan penasaran—tapi perlu diketahui kalau ia tampak tersipu malu saat ini.

“Nametag-mu.”

Oh, benarkah? Kita melupakan hal itu, Lay. Tapi jangan bersedih dulu! Jangan pancarkan kekecewaan—walau itu lebih baik daripada senyuman lebar yang hampir menyobek mulutmu itu.
Lay! Fighting!

“Ah, begitu rupanya..” gumam Lay, nyaris tak terdengar. Ia menjatuhkan pandangannya ke tanah.

“Kau tampak gugup.”

Seketika, Lay langsung mengangkat wajahnya, sedikit terkejut karena tebakkan gadis itu tepat. Mengapa dia bisa tahu? batin Lay.

“Keringatmu bercucuran. Hapuslah dulu..” lanjut gadis itu sembari mengulurkan sapu tangannya pada Lay.

Tanpa pikir-pikir lagi, Lay langsung menerima sapu tangan itu, lalu mulai menghapus keringatnya yang ternyata memang bercucuran. Oh, kau tampak idiot dengan senyum lebarmu itu, Lay! Berhentilah memandangi gadis itu seolah kau ingin memakannya!

“Ah, kau pasti mau pergi. Aku mengganggumu, ya?” terka Lay, tampaknya kesadarannya telah pulih.

Gadis itu tersenyum hangat, dan berefek pada jantung Lay yang melemah. “Kalau kau mau mengajakku untuk melihat sunset, mungkin aku tak akan pergi.” jawab gadis itu, riang. Hm, sepertinya dia memahamimu, Lay..

Tentu saja Lay tak perlu pikir panjang lagi, “Kalau begitu, bagaimana kalau kita melihat sunset dari sana?” usul Lay sambil menunjuk tepi Sungai Han. Gadis itu pun mengangguk pelan sebagai ganti dari kata ‘iya’.


-oOo-

Falling In Love at A Coffee Shop

-oOo-


Dengan hati berbunga-bunga, Lay menggiring sepedanya sambil melangkah seirama bersama gadis itu. Tampaknya Lay harus menelpon kepala pelayannya agar menyiapkan ambulans untuknya, hanya jaga-jaga kalau-kalau ia pingsan mendadak karena terlalu lama berada di samping gadis itu. Oh, bodoh!

“Jadi.. kau sudah lama bekerja di kedai itu?” tanya sang gadis dengan hati-hati.

Lay berusaha menenangkan hatinya, dia cukup gugup ternyata. “Tidak juga, aku baru bekerja disana sekitar 7 bulan.” jawab Lay sambil melirik dan tersenyum manis pada gadis itu.

“Oh..begitu.”

“Kalau kau? Sudah lama jadi pelanggan di kedai itu?”

Gadis itu menggeleng pelan, lalu menatap Lay tepat di matanya. Oh, ya ampun! Ya ampun! Lay, hati-hati! Jantungmu hampir melompat keluar!

“Mungkin.. Baru 4 bulan, tapi aku tak ingat pasti, sih.”

Lay hanya mengangguk kecil lalu segera memutus pandangan mereka. Gawat, gawat! Lay bisa saja pingsan disini, tapi, siapa yang akan menolongnya nanti? Oh, mungkin saja gadis itu akan memberi Lay CPR. Hm, bukan ide buruk. Tapi jangan dicoba, Lay.

Benar-benar tak ada persiapan sama sekali. Semua berjalan apa adanya—walau daftar ‘hal yang bisa dibicarakan dengan gadis itu’ yang pernah dibuat Lay, tampaknya sangat berguna. Hm, baiklah. Kali ini Lay akan berhenti dengan kerumitan yang selalu ia buat untuk meraih hasil terbaik. Kali ini Lay akan mengikuti saran Xiumin. Dan semoga saja saran sahabatnya itu manjur.


Dimulai dari hal kecil dan sederhana..


Lay dan gadis itu sudah sampai—di tempat yang menurut Lay paling pas untuk menyaksikan sunset. Gadis itu pun beranjak duduk di hamparan rumput, namun Lay segera menahannya.

“Tunggu.” kata Lay seraya melepas jaket yang ia kenakan. Lay kemudian menghamparkan jaketnya di rumput, lalu mempersilakan gadis yang tampak terheran-heran untuk duduk disana.

“Apa tidak apa-apa?” tanya gadis itu, sedikit tak enak hati akan perlakuan Lay. Namun Lay menyambutnya dengan sebuah senyuman yang mengartikan ‘tak apa-apa’.

Maka, gadis itu pun duduk dengan beralaskan jaket Lay, namun ia yang merasa canggung, memberi ruang agar Lay bisa duduk dengan beralaskan jaket sama sepertinya. Alhasil, mereka pun duduk dengan jarak yang terlampau dekat. Hm, kerja bagus Mr. Zhang Yixing!

Lay tak menutupi cengirannya yang terlampau lebar, walau gadis itu melihatnya, tapi Lay yakin gadis itu tak akan takut karenanya. Ini hanya hal sederhana. Duduk berdampingan menunggu sunset ditemani dengan embusan angin yang membelai lembut, lalu obrolan-obrolan santai yang akan membuat mereka semakin akrab. Oh, kenapa Lay baru sadar kalau hal-hal sederhana sangat indah?

Well, ucapan Xiumin ternyata benar adanya. Hal-hal kecil dan sederhana ternyata jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan hal-hal besar nan rumit yang selalu Lay andalkan. Kau benar-benar berutang pada Xiumin, Lay.

Hm, mungkin Lay bukanlah playboy yang pandai menaklukkan hati wanita seperti Luhan. Dia juga tidak pandai ber-aegyo-ria seperti Sehun atau perayu bertampang cool seperti Kris yang akan dengan mudahnya membuat para gadis bertekuk lutut mengemis cintanya. Dia juga bukan sexy dancing machine seperti Kai, yang cukup dengan memamerkan smirk-nya saja bisa membuat para gadis pingsan. Tapi, kali ini Lay tak akan kalah dari mereka.

Dengan semua kesederhanaan yang ia punya, dengan tekad yang telah membulat, serta hatinya yang tak dapat berkompromi lagi jika merindukan gadis itu, maka Lay akan memberikan sebuah kesederhanaan lagi untuk gadis itu.

Sang mentari telah menenggelamkan hampir setengah bentuknya, dan Lay rasa ini waktu yang pas. Lay pun memberanikan diri, mengucap perasaan yang selama ini terpendam di dalam hatinya.


“Aku menyukaimu.”


Gadis itu hanya diam sambil menatap Lay agak bingung. Itu wajar, karena ini adalah pertemuan pertama mereka di luar hubungan pelanggan dan seorang barista, tapi Lay sudah berani berkata seperti itu.


“Maukah kau jadi kekasihku?”



END

Fanfic ini bukanlah milik saya, saya hanya meng-copy tentu saja dengan izin author yang tercinta '-'
Yak sekian terimakasih '-'

0 komentar:

Posting Komentar