Ayo lihat sekelilingmu….
Lihatlah sejengkal kehidupan mengalir di tanah-tanah
garapan dan sela-sela rumpun padi di samping rumahmu.
Walau tidak kau temui lagi jalanan desa yang rusak dan
leleran ingus anak-anak kecil yang bermain-main di sawah.
Kalau kau sempat bertamu ke lubuk hati mereka para
petani, coba tanyakan pernahkah mereka tertawa.
Pernahkah mereka bangga dengan tetes-tetes peluh yang
terserap di antara buliran-buliran beras.
Atau pernahkah keong mas dan tikus sesekali membiarkan
mereka menghela nafas yang hampir putus.
Bangun,
nduk… biarkan lumpur selutut memelukmu.
Bangkit,
cah ayu… sambut pedihnya goresan daun padi dengan senyummu.
Senyum yang mengembang diantara semilir alunan
Dhandhanggula para penggarap sawah yg bakal hilang tidak terdengar lagi,..
Bangkitlah
cah ayu,..Sebelum semua hilang dijual kepada orang asing
Dan
ayo puaskan melihat sekelilingmu….
Jadilah
saksi bagaimana hilangnya gotong-royong dan hasrat bersatu menanam dan memanen
padi.
Jangan
kau besok tanyakan pada Bapakmu ini kemana perginya empati dan rasa peduli
sesama, yang seolah tak diizinkan lagi tinggal di negeri ini….
Masih
mau duduk di sini, nduk?
Bapakmu ingin cerita….
Bagaimana
mereka hampir menyerah.
Budaya
yang dibangun atas dasar mengolah tanah (agri–culture) kini entah kenapa hampir
punah.
Gotong
royong dan sambatan dulu mengalir dalam darah, tapi kini terpecah oleh warna
biru kuning hijau merah, semenjak
pilihan lurah hingga pimpinan negara yang seharusnya membawa amanah.
Menentukan
waktu tanam, memilih benih, dan berdamai dengan hama, dulu adalah keahlian
kebanggaan, tapi sekarang dianggap orang kuno dan asing di rumah sendiri, yang
diatur sana sini oleh mereka yg katanya pintar hasil belajar di luar negeri.
Tapi
entalah nduk,.. belajarlah pada apa yg ada di negerimu, tumpah darahmu.
Itulah
kenapa Bapak beri nama Sri sebagai nama
depanmu,.. supaya kelak mengingatkan akan Dewi Kesuburan pengayom
para petani, yang kelak akan dilupakan oleh generasi seusiamu
Paham
kau, cah ayu…?
Harapan
petani kecil hanya pada pemilik kuasa negeri ini, tapi rasanya mereka tak
mengerti.
Kalau
mau menyubsidi, mbok sudah beli saja mereka
punya gabah, lalu jualah berasnya dengan harga murah.
Daripada
sekarang, pengadaan barang ujung-ujungnya kepentingan politik dan uang.
Bener
nggak, cah ayu…?
Dan
kalau tidak berubah juga, pantas mereka jual saja sawah untuk pabrik dan
rumah-rumah.
Dan entahlah, siapa kelak yang akan memberi makan negeri ini…
Nduk…nduk…cah
ayu,
Lho,
kok malah mainan blackberry…. lihatlah ada singkong dan gembili, yang bisa
dicabut dari pematang sawah pinggir kali.
Ada
daun kenikir dan bunga turi, dipetik di sepanjang pagar pekarangan (milik
tetangga) kanan dan kiri.
Lho,
kenapa lagi dengan blackberry… putus nyambung, ya?
Ya
begitulah kalo semua bisa rame2 pake bbm
.
Tapi
apakah gunung biru bermahkota mega, kawanan pipit di atas hamparan padi yang
kuning merata, serta cinta orang-orang seperti bapak biyungmu ini, masih kalah
juga dengan BBM dan playlist lagu, to nduk… atau lenggak-lenggok muda-mudi
berambut warna warni dengan nyanyian dan
jenis kelamin yang ndak jelas ?
Tapi
ya bisa apa bapak biyungmu ...ini, cuman manusia biasa sama dengan penghuni lain
negeri ini.
Untuk
apa Bapak ceritakan semua ini, toh menanam padi juga tidak bisa.
Walau
sedikit Bapak ceritakan ini agar tahu tentang budaya leluhur kita.
Budaya
yang berakar dari menanam padi tapi
biarlah bila lahan sudah tidak ada lagi,..yang bisa Bapak lakukan adalah
membelajari mu bagaimana menanamkan kebaikan.
Karya: Papa Gue '-' (Noor Haris Rachmadi)
Puisi ini gue temuin di laptop papa gue yang kemaren tak uwek-uwek (?)
Dan ni puisi buatan papa gue, baru tau papa gue bisa bikin puisi -___-
yasudahlah...
0 komentar:
Posting Komentar